Lagu Indah di Perjalanan

Setelah beberapa posting-an terakhir adalah cerita-cerita (super) pendek yang juga saya post di IG story tiap hari Minggu, kali ini saya tulis bacaan ringan yang mungkin juga related dengan apa yang pernah, sedang, atau (sepertinya) akan menaungi pikiran teman-teman atau saudara-saudara sekalian. Sekalian saya kasih beberapa tautan lagu, ya, biar makin enjoy bacanya πŸ˜€

DISCLAIMER: Bacaan ini mengandung secuplis unsur curcol dan perihal kuasa semesta. Jadi mohon maaf, bagi yang ndak berkenan, monggo bisa di klik tombol close… Itu lo, yang biasanya bentuknya “X” di pojok kanan atas layar. Trims…

Ditemani secangkir kopi dengan takaran 1:1/2 (yang 1/2 bagiannya gula, kok), dan musik dari Lord Huron berjudul Fool for Love, saya mulai ya…

Beberapa hari ke belakang, lagi sering banget nge-reminding diri sendiri supaya tetap sehat akalnya dan stabil emosinya, hehe. Sebagai manusia biasa, kerap kali tercetus dalam bayangan tentang ‘kehidupan lain’ yang mungkin saja bisa saya lalui seandainya ‘tidak begini’, seandainya ‘tidak begitu’.

Saya begini karena begitu.
Saya begitu karena begini.
Seandainya saya begini, pasti saya bisa begitu.
Seandainya saya tidak begitu, saya pasti bisa begini…
…daaan seterusnya.

Saya pakai contoh diri saya sendiri, deh, biar gampang.

Papa saya terkena stroke lima tahun yang lalu. Meski saat ini kondisi Papa saya sudah jauhhh lebih sehat (meski secara kemampuan fisik tidak 100% kembali ke semula), I admit it, terkadang masih terkhayalkan oleh saya tentang “bagaimana ya seandainya Papa ngga kena stroke?”

By the way, saya pernah sharing sedikit tentang Papa saya yang terkena stroke lima tahun lalu, monggo kalau yang mau baca: klik di sini πŸ™‚

Seandainya Papa ngga kena stroke, sekarang saya pasti sudah asyik merantau.
Seandainya Papa ngga kena stroke, saya mungkin sudah bisa dapet gelar S2.
Atau jangan-jangan malah saya sudah menikah dan hidup berbahagia dengan suami dan anak yang lucu nan menggemaskan.

Dan masih banyak khayalan terkait impian lainnya yang diri ini pertanyakan.

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena saya sadari, ketidaksamaan perjalanan hidup yang saya lalui dengan perjalanan hidup yang dulu saya bayangkan, bagaikan ketidaksamaan saya dengan Dua Lipa (BEDA BANGETTTTTTTTTTTTTTTTTTT). Situasi dan kondisi yang ada mengharuskan saya dan ketiga kakak saya lebih banyak menghabiskan waktu dan pikiran untuk kebutuhan keluarga, alih-alih untuk mengejar mimpi.

Ada kalanya kalau mengingat-ngingat lalu membanding-bandingkan apa yang saya lalui dengan apa yang sebenarnya INGIN saya lalui, munculah perasaan seperti yang disampaikan oleh Family of The Year dalam lagu Hero. Yaaa… meski dalam konteks yang agak berbeda sih.

Saya banyak berandai-andai tentang apa yang mungkin saya lalui, atau saya capai, jika Papa saya tidak stroke. Saya banyak membayangkan hal menyenangkan yang, saya pikir, akan terjadi jika Papa saya masih sehat wal’afiat seperti sedia kala.

Kalau sudah begini, ujung-ujungnya apa? Lupa bersyukur, ya minimal denial atas keadaan yang dialami lah. Hm.

Tapi, oh, tapi… puji syukur Alhamdulillah, Tuhan masih mengijinkan hamba yang tak berdaya ini untuk berpikir sehat πŸ˜€

Suatu ketika, lebih tepatnya dua hari yang lalu, di saat saya sedang sendiri di sebuah ruangan (ngga usah dijelasin detailnya lagi ngapain, ya), saya menyadari suatu hal.

Banyak orang yang berpikir bahwa sakitnya Papa adalah ujian yang harus saya dan keluarga saya lalui. Tidak sedikit juga yang melihatnya sebagai penghalang bagi kami untuk hidup “normal” dan berbahagia. Ya, ngga ada salahnya memang pernyataan itu. Tapi kemudian saya sadari bahwa itu bukanlah semata-mata ujian dari Tuhan apalagi penghalang kebahagiaan, melainkan juga merupakan sebuah amanah. Tuhan meng-amanah-kan salah satu umatNya yang sakit ini kepada saya dan keluarga saya. Tuhan mempercayakan itu pada kami. Tuhan menakdirkan hal itu terjadi ya karena menganggap kami bisa dipercaya untuk dititipi umatNya yang sedang sakit. Dan kalau Tuhan sudah meng-amanah-kan, masa iya sih kita ngga dikasih pertolongan untuk menjaganya.

Lalu, apakah “diberi amanah” itu adalah sesuatu yang menjadikan diri kita lebih buruk?
Saya rasa tidak. Saya rasa justru saat itulah Tuhan melihat kita memiliki kemampuan yang mungkin tidak semua orang memilikinya, kemampuan menjaga amanah tersebut. Jadi buat apa disia-siakan dengan terlalu banyak berandai-andai tentang hal yang mungkin saja bisa terjadi jika amanah itu tidak diturunkan ke kita? Bahasa gampangnya: GAK PENTING.

Dari situ, saya berpikir lebih holistik tentang apa yang saya lalui selama ini. Kalau kita mau berpikir agak dalam, sadar tidak sadar, hidup ini memang tidak ada satupun yang milik kita. Jangankan cerita hidup, badan yang kita gunakan untuk melalui cerita hidup itu saja pun bukan punya kita kok. Buktinya, manusia kembali ke asalnya juga ngga sambil bawa badan.

Dan apa yang kita sebut ujian pun saya yakin adalah bentuk lain dari amanah yang diberi Tuhan, yaitu kepercayaanNya pada kita untuk bisa melaluinya, sekalipun hal itu tidak terbayangkan oleh kita.

Ya, ndak?
Semuanya semata-mata adalah titipan yang diamanahkan pada kita.

Memang, hubungan kausal mempengaruhi perjalanan hidup itu benar adanya, namun sifatnya tidak kaku dan pasti. Dan begitu banyak misteri ilahi yang tidak kita sadari, pada akhirnya, akan memuarakan semua itu pada suatu titik tentang bagaimana kita menerima dan menjaga amanah.

Seperti ketika kalian mengharapkan sesuatu, kalian berusaha sekuat tenaga, berdoa juga sampai nangis-nangis, eh ngga tercapai juga. Tapi ternyata, di suatu titik ketika kamu sudah bisa ikhlas menerimanya, kamu bisa melihat bahwa tidak tercapainya harapanmu itu membawamu kepada hal yang lebih baik dan lebih layak kamu terima saat itu?

Itulah yang saya maksud dengan statement di atas.

Eh tapi, bukan berarti di sini saya bilang kita ngga perlu berusaha mencapai yang kita harapkan dan pasrah aja dengan keadaan, lo…

Maksud dari tulisan ini adalah lebih kepada tentang berhenti membandingkan antara apa yang kita harapkan dengan apa yang kita lalui. Jika yang kita harapkan ini belum bisa kita lalui saat ini, ya berarti Tuhan belum memberikan kita amanah untuk melaluinya.

Mungkin saja karena saat ini kita masih belum siap untuk mengemban amanah itu, mungkin kita masih terlalu sombong untuk diberi amanah tersebut, atau bahkan mungkin, bagi Tuhan, hal itu justru bukanlah suatu amanah yang penting buat kita?

Jadi alih-alih meminta “A”, mintalah untuk dipantaskan mendapatkan “A”, tentunya sambil usaha juga dong, ya. Kalau Tuhan menganggap kita sudah bisa amanah dikasih “A”, Tuhan pasti memberikan yang terbaik dan di waktu paling baik pula, kok. Tapi kalau pada akhirnya memang tidak kunjung dikabulkan, apa mungkin “A” itu bukanlah sesuatu yang membuat kita lebih baik? Selamat berpikir πŸ™‚

Sambil berpikir, saya temani dengan tembang dari salah satu anak Pak Ebiet G. Ade yang bernama Adera ini, ya. I love you ❀

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.